Beranda | Artikel
Dalil Manhaj Salaf Dalam Surat Al Fatihah
Rabu, 20 Mei 2015

Manhaj Salaf adalah metode beragama Islam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik sesudah beliau berada di atasnya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خير الناس قرني ، ثم الذين يلونهم ، ثم الذين يلونهم

“Sebaik-baik manusia adalah kurunku (Sahabat), kemudian orang-orang yang setelahnya (Tabi’in), lalu orang-orang yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Manhaj Salaf ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetap tetap ada sampai datangnya ketentuan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ عَلَى الْحَقِّ  منصورة

“Senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap di atas kebenaran lagi ditolong” (Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).

Manhaj Salaf adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman dan pengamalan para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Tabi’in, dan Tabi’utTabi’in sebagai hasil dari didikan guru besar yang paling mulia mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang langsung mendidik para Sahabatnya bagaimana memahami dan mengamalkan Islam dengan benar, kemudian para Sahabat radhiyallahu ‘anhum mendidik murid-murid mereka, yaitu Tabi’in (pengikut Sahabat) dengan baik, sedangkan Tabi’in melanjutkan perjuangan dakwah dengan mendidik para Tabi’ut Tabi’in (Pengikut Tabi’in) dengan baik pula. Mereka lah tiga generasi terbaik setelah para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam.

Dalil Manhaj Salaf dari surat Al- Faatihah

Suatu perkara yang tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin semenjak dulu sampai sekarang bahwa satu-satunya jalan lurus (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim) yang diridhai oleh Allah adalah jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal itu dikarenakan Allah menjamin bagi setiap hamba-Nya yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an akan mendapatkan  anugerah istiqamah, lurus meniti jalan menuju Rabb-nya. inilah jaminan tersebut,

Allah Ta’ala berfirman:

قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ

“Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi menunjukkan kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus” (Al-Ahqaaf: 30).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Al-Qur’an menunjukkan kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus, maka tentunya ini mengandung maksud bahwa Allah Ta’ala menjamin setiap orang yang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an akan mendapatkan  anugerah istiqamah, lurus meniti jalan menuju kepada Rabb nya. Sebagaimana Allah juga menjamin bagi hamba-Nya yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan istiqomah, lurus di atas kebenaran,

Allah Ta’ala berfirman tentang Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok utusan Allah yang menunjukkan kepada manusia jalan yang lurus,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuuraa: 52).

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, maka barangsiapa yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah Ta’ala menjaminnya akan mampu istiqomah, lurus di atas kebenaran.

Lantas, apakah yang diperselisihkan oleh sebagian kaum muslimin?

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kaum muslimin semenjak dulu sampai sekarang tidak pernah berselisih bahwa jalan yang lurus (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim) yang diridhoi oleh Allah adalah jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun perkara yang membuat banyak di antara mereka berselisih adalah dengan metode apa mereka memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mengamalkan keduanya.

Inilah yang menyebabkan banyak dari kelompok dan aliran-aliran dalam barisan kaum muslimin melenceng dari jalan lurus (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim). Jadi, tidak cukup seorang muslim mengatakan, “Mari kembali kepada Al-Qur’an dan As- Sunnah!”, walaupun ini kalimat yang benar, namun karena pemahaman kita terhadap keduanya bisa benar dan bisa pula salah, demikian juga dalam mengamalkan keduanya, bisa jadi amal kita keliru, maka adanya standarisasi pemahaman dan pengamalan agama Islam yang benar -yang direkomendasikan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah sebuah keniscayaan.

Adapun standar pemahaman dan pengamalan agama Islam yang benar itu adalah pemahaman dan pengamalan Salafush Shaleh -tiga generasi terbaik dari seluruh umat para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam, dan generasi Salafush Shaleh yang paling mulia adalah para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka langsung mendapatkan tarbiyyah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jalan siapakah yang disebut sebagai jalan yang lurus (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim)?

Sobat, coba renungkanlah sejenak ayat-ayat dalam surat Al-Faatihah! Bukankah Allah tidak mencukupkan dalam surat Al-Faatihah hanya sampai ayat:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.

Barangkali kaum muslimin-ketika membaca surat Al-Fatihah dalam shalatnya, tidak ada satupun dari mereka yang berani dengan sengaja berhenti hanya sampai ayat di atas. Ketahuilah, bahwa makna ayat di atas tidaklah bisa dipisahkan dengan makna ayat berikutnya, karena kedua ayat tersebut hakikatnya merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan erat dalam menunjukkan “Jalan yang lurus dan Orang-orang yang menitinya.”

Sebagaimana jika ada orang yang menyangka bahwa ia telah meniti jalan yang lurus, padahal jalan tersebut tidak pernah dilalui oleh para pendahulunya yang lurus, maka itu adalah sebuah kesalahan. Demikian juga, jika ada orang yang menyangka bahwa dirinya adalah orang yang lurus, padahal jalan yang dilaluinya sebenarnya telah menyimpang dari jalan yang lurus, itupun hakikatnya juga sebuah kesalahan.

Ketahuilah wahai saudaraku, ayat di atas menunjukkan kepada jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena dalam ayat tersebut isinya adalah permohonan seorang hamba kepada Rabbnya agar diberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sedangkan di dalam surat Al-Ahqaaf: 30, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah jalan yang lurus, dan dalam surat Asy-Syuuraa: 52, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa As-Sunnah  adalah jalan yang lurus, sebagaimana telah dijelaskan di dalam artikel bagian pertama.

Namun wahai saudaraku, Allah tidak membiarkan kita kebingungan mencari tahu tentang jalan siapakah yang disebut sebagai jalan yang lurus tersebut, sehingga Allah tidak berhenti berfirman hanya sampai ayat,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.

akan tetapi melanjutkan firman-Nya,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.

Hal ini menunjukkan bahwa jalan yang lurus itu adalah jalan orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat yang besar dari Allah Ta’ala, berupa:

  1. Nikmat amal shalih, sebagaimana terkandung dalam firman-Nya:

    غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

    “bukan (jalan) mereka yang dimurkai.”
    maksudnya orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya. Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

    الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ الذين عرفوا الحق وتركوه كاليهود ونحوهم

    “الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran, namun meninggalkannya (tidak mengamalkannya), seperti yahudi dan semisal mereka.”  (Tafsir As-Sa’di, hal. 28).

  2. Nikmat Ilmu yang bermanfa’at, sebagaimana terkandung dalam firman-Nya:

    وَلَا الضَّالِّينَ

    “dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
    maksudnya adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu yang bermanfa’at. Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

    الضَّالِّينَ الذين تركوا الحق على جهل وضلال, كالنصارى ونحوهم

    الضَّالِّينَ adalah orang-orang yang meninggalkan kebenaran  dalam keadaan tidak berilmu dan sesat, seperti nashara dan semisal mereka”. (Tafsir As-Sa’di, hal. 28).

Dengan demikian firman-Nya,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

“Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”, hakikatnya menunjukkan kepada jalan orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat dari Rabb mereka, berupa “Ilmu yang bermanfa’at dan amal sholeh”.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimhullah,

وتأمل سرا بديعا في ذكر السبب والجزاء للطوائف الثلاثة بأوجز لفظ وأخصره ، فإن الإنعام عليهم يتضمن إنعامه بالهداية التي هي العلم النافع والعمل الصالح

Perhatikanlah rahasia yang indah dalam penyebutan sebab dan balasan bagi tiga golongan (yang terkandung dalam surat Al-Faatihah, pent) dengan lafadz yang paling ringkas dan singkat, maka sesungguhnya pemberian nikmat kepada mereka mengandung pemberian nikmat hidayah oleh-Nya, yang hidayah itu sendiri adalah ilmu yang bermanfa’at dan amal sholeh”. (Madarijus Salikin 1/36).

Beliau juga berkata,

فكل من كان أعرف للحق ، وأتبع له كان أولى بالصراط المستقيم

Maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran dan lebih mengikutinya, ia lah yang lebih berhak (disifati mendapatkan) jalan yang lurus” (Madarijus Salikin 1/94).

Bagaimana Ahli Tafsir menafsirkan “ Jalan lurus (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim) dan orang-orang yang menitinya”?

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, menjelaskan makna dari firman Allah Ta’ala,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”

وهم أهل الهداية والاستقامة والطاعة لله ورسله ، وامتثال أوامره وترك نواهيه

Mereka adalah orang yang mendapatkan hidayah (baca: berilmu), keistiqomahan dan ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya (baca: beramal).

Dengan demikian, profil orang-orang yang berada di atas Ash-Shiraath Al-Mustaqiim adalah tipe orang-orang yang menggabungkan ilmu yang bermanfa’at  dan amal salih dalam diri mereka. Oleh karena itu, pantas jika di antara salafus salih ada yang menafsirkan “ Jalan lurus (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim) dan orang-orang yang menitinya” dengan “Abu Bakar, Umar, dan para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, karena merekalah orang-orang yang  paling besar -setelah para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam– dalam mendapatkan anugerah Allah berupa ilmu yang bermanfa’at dan amal salih, sehingga mereka menjadi generasi terbaik setelah para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam.

Al-Baghawi rahimahullah dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala :

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

menukilkan perkataan salafus salih,

وقال عبد الرحمن بن زيد: “هم النبي صلى الله عليه وسلم ومن معه”

“Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah berkata, ‘Mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya (para Sahabatnya).’”

وقال أبو العالية: “هم آل الرسول صلى الله عليه وسلم وأبو بكر وعمر رضي الله عنهما وأهل بيته”.

“Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, ‘Mereka adalah para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar radhiyallahu ‘anhuma dan Ahli Bait beliau.’”

وقال شَهرُ بن حَوْشَب: “هم أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وأهل بيته”.

“Syahr bin Hausyab rahimahullah, mereka adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ahli Bait beliau’” (Tafsir Al-Baghawi 1/7).

Ibnul Qoyyim menyebutkan dalam kitabnya, Zaid bin Aslam rahimahullah berkata,

الذين أنعم الله عليهم : هم رسول الله  صلى الله عليه وسلم وأبو بكر وعمر

“Orang-orang yang Allah anugerahkan nikmat kepada mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar serta Umar” (Madarijus Salikin 1/95).

Kesimpulan

Jika Anda ingin meniti jalan yang lurus dalam hidup ini hingga selamat sampai tujuan, berjumpa dengan Allah di Surga, maka ikutilah jalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam memahami dan mengamalkan agama Islam ini. Sebaliknya, barangsiapa yang menyimpang dari jalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami dan mengamalkan agama Islam ini, berarti ia telah menyimpang dari jalan orang-orang mukmin yang terbaik setelah para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam, dan silahkan simak ancaman Allah  bagi orang-orang yang menyimpang tersebut, berikut ini,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (An-Nisaa : 115).

Yang dimaksud dengan “orang-orang mukmin” di dalam ayat ini adalah para shahabat Rasulullah dan generasi pertama dari umat ini.

Renungan

Tidakkah kita sadari bahwa sesungguhnya setiap hari kita diwajibkan membaca surat Al Fatihah yang merupakan dalil tentang Manhaj Salaf dalam shalat-shalat kita? Wa billahit Taufiq.

***

Referensi
  1. Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim.
  2. Sittu Durar, Syaikh Ramadhani.
  3. Tafsir Al-Baghawi.
  4. Tafsir As-Sa’di.

🔍 Hasbunallah Wa Ni Mal Wakiil Arti, Hadist Shalat Jumat, Rokok Haram Dalam Islam, Labaik, Cara Melawan Nafsu


Artikel asli: https://muslim.or.id/25584-dalil-manhaj-salaf-dalam-surat-al-fatihah.html